Islam Politik di Panggung Kuasa
Prof. Dr. Harun Nasution, ahli teolog Islam lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara tahun 1919, dalam pengantar buku negara dan peminggiran Islam politik karya M. Rusli Karim, yang dituliskan oleh Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif (1999) mengajak kita untuk merenungkan kembali menyoal relasi antara Islam dan negara. Inteletual Muslim yang wafat di Jakarta pada 18 September 1998 ini pernah mengatakan bahwa persoalan yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat beragama —terkhusus Islam— adalah tak lain berkait dengan masalah hubungan antara agama dengan negara.
Mengenai konflik negara dan agama ada beberapa deretan panjang sejarah dari masa ke masa. Disalah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Eufrat Harran, Turki, pernah juga terjadi gejolak politik antara Islam dan negara. Ibnu Taimiyah (1263-1328) seorang intelektual Muslim dengan karyanya al-Siyasah al-Syari’iyah fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah mengakibatkan ia diganjar dengan dipenjarakan hingga akhirnya ia pun juga wafat dalam teralis besi karena mempertahankan pedapatnya tentang siyasah sya’iyah (Politik atas dasar Syari’at).
Akar Islam Politik
Sementara perkembangan politik Islam di Indonesia nampak terlihat sejak masa pra kemerdekaan. Awal abad 20 M, penjajah Belanda mulai melancarkan politik etik atau lebih kita kenal dengan politik balas budi. Strategi perlawanan terhadap kolonial Belanda pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal ketimbang dengan kontak senjata. Akibat dari itu akhirnya berdirilah beberapa ormas Islam, diantaranya: Sarekat Islam (SI). SI merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905.
SI pada awalnya merupakan perkumpulan para pedagang Islam yang kemudian membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan SDI awalnya hanya untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim —khususnya pedagang batik di Solo— agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Saat itu, para pedagang Cina telah jauh lebih maju usahanya dan memiliki hak dan oleh pemerintah Belanda diberi status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indonesia lainnya. Kebijakan demikian sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda yang kemudian menimbulkan perbedaan status sosial.
Kemudian di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI. Pada masa kepemimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada tahun 1912, nama SDI kemudian diubah menjadi Sarekat Islam. Tentu dengan perubahan nama demikian dilakukan agar SI tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti bidang politik. Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah itu pemerintah belanda memperbolehkan berdirinya partai politik, SI pun kemudian beralih fungsi menjadi partai politik.
John Ingleson pernah berucap, “sejak terbentuknya SI merupakan partai politik Islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun menjadi partai modern satu-satunya pada masa colonial. Demikian juga dengan Deliar Noer, “Asal-ususl dan pertumbuhan gerakan Islam di kalangan Muslim di Indoneisa dapat dikatakan identik dengan asal-usul dan pertumbuhan Sarekat Islam, terutama pada pada dua puluh tahun pertama sejak didirikan (Abdul Azis Thaba: 1996, 141).
Dalam tahun yang tidak jauh beda, berdiri juga organisasi Islam dengan corak gerakan pembaharuan. Gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh K.H.Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggl 18 Nopember 1912 dan diberi nama Muhammadiyah. pendiri Muhammadiyah pernah belajar di Mekah, ketika dua kali memperoleh kesempatan menunaikan ibadah haji. Ide-ide pembaharuan dan gerakan menentang kolonial Barat ditanamkan melalui madrasah Muhammadiyah yang didirikannya. Muhammadiyah juga sangat menentang kebijaksanaan Belanda yang tidak adil dalam masalah keagamaan.
Mula-mula kegiatan Ahmad Dahlan itu mendirikan sekolah-sekolah modern dengan gaya sekolah Djamiat Khoir dan Adabiyah di Padang. Sistematika dan formulasi ideologi Muhammadiyah baru diadakan pada awal kepemimpinan K.H. Mas Mansyur (1938-1940) yaitu dengan merumuskan langkah-langkah Muhammadiyah sebagai pedoman. Sedangkan keterlibatannya dalam politik praktis merupakan tuntunan zaman di tengah politik alienasi terhadap Islam yang diterapkan pemerintah Belanda. Peran Muhammadiyah tak kalah penting, dalam mendukung gerakan kebangsaan untuk lahirnya sebuah Parlemen Indonesia (Sudirman Tebba: 1993, 32)
Selang beberapa tahun, lahir juga organisasi yang berlandaskan Islam di Jawa Barat pada tanggal 12 September 1923 yaitu Persatuan Islam (Persis). Terbentuknya persis diawali dengan suatu kelompok tadarusan —penalaahan agama Islam— di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Selain berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga —menurut Ahmad Mansur—menentang imperialis Barat dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia.
A. Hasan salah satu tokoh Persis dengan terang-terangan menolak asas gerakan kebangsaan atau nasionalisme. Hal itu seiring dengan apa yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Persis melakukan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. (Abdul Azis Thaba: 135).
Dalam kancah perpolitikan ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) yang resmi didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, di lawang Agung Ampel Surabaya tak luput juga peran sertanya. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai. Salah satu peran dalam ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
Pada awalnya NU hanya bergerak dalam bidang sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat. Sehingga pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda. Untuk menghadapi hal tersebut, maka NU memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia. Pada tahun 1937 NU telah berhasil memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A’la Indonesia (MIAI). MIAI terdiri dari berbagai unsur ormas Islam: antara lain, PSII, Muhammadiyah, Al Irsyad, PII dll (Ahmad Syafi’i Ma’arif: 1996,17).
Lahirnya Parpol Islam
Pada masa pemerintahan Jepang, pemuda Islam diberian kedudukan yang baik tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain. Pada kesempatan ini Nahdlatul Ulama’ kembali lagi tampil sebagai memelopori kalahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah Masyumi lahir kemudian MIAI pun dibubarkan. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, atas prakarsa pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam berubah menjadi partai politik. Keputusan ini dihasilakn melalui konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945.
Politik itu memang mudah berubah, dalam perjalanan panjangnya Nahdlatul Ulama’ meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya (Abdul Azis Thaba: 158). Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama’ untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April hingga 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai .
Diluar pergulatan politik seputar Ormas Islam, ditubuh para pejuang pun terjadi perdebatan sengit tentang dasar negara. Menjelang proklamasi, terutama setelah BPUPKI dibentuk negeri Sakura (Jepang) itu memberikan porsi lebih besar kepada golongan nasionalis sekuler untuk memegang kendali kemerdekaan Indonesia. Hingga dalam sidang BPUPKI inilah terjadi silang perdebatan ideologis antara golongan Islam dan golongan nasional sekuler tentang dasar negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia sembilan mampu menghasilkan rumusan dasar negara yang tak lain dikenal Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Meski demikian, BPUPKI akhirnya dibubarkan oleh Jepang karena alas an dianggap terlalu cepat untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan. BPUPKI bubar, kemudian dibentuklah kembali panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) oleh Komite Persiapan Kemerdekaan pada tangga l 7 Agustus 1945 yang diketuai Ir. Soekarno. Pada akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melalui proklamasi kemerdekaan memutuskan bahwa pembukaan alenia keempat anak kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
Tidak berhenti sampai disitu, Islam politik pada masa bentangan rezim demokrasi parlementer juga bergerak secara masif. Aroma politik Islam tercium kembali pada waktu digelarnya Sidang Konstituante (Ahmad Syafi’i Ma’arif: 107). Perdebatan dalam Sidang Konstituante 1957 para tokoh Islam berhadap-hadapan langsung dengan kalangan yang nasionalis sekuler. Pihak ini tentunya berseberangan ideologi umat Islam pada waktu itu, salah satunya pihak komunis (PKI).
Gerakan yang sangat jelas menentang pemerintahan yang menganut asas Pancasila adalah pada masa pemberontakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo. Karena pemerintah menganggap gerakan ini menjadi duri yang tajam dalam roda pemerintahan ditumpas akhirnya gerakan ini berhasil ditumpas dengan cara kekerasan fisik.
Selanjutnya, pada masa orde baru hingga reformasi tak kalah peliknya pergulatan politik yang didalangi oleh Islam politik. Hanya saja pada masa orde baru nampaknya pemerintah lebih halus dalam menyikapi gerakan-gerakan Islam politik. Ada beberapa hal yang kiranya menjadi pusat perhatian kala masa orde baru. Diantaranya pendirian Bank Muamalat dan rancangan UU perkawinan. Perkembangan terakhir yang amat monumental adalah gerakan NII yang kemudian Panji Gumilang, pimpinan Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) disebut-sebut sebagai dalang dari semua gerakan NII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar